Polresta Cirebon menetapkan dua tersangka dalam kasus longsor tambang maut di Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, yang menewaskan 19 orang pada Jumat (30/5). Kedua tersangka, AK dan AR, dianggap bertanggung jawab atas tragedi tersebut karena menjalankan operasional tambang tanpa memperhatikan aspek keselamatan dan peraturan yang berlaku.
Kapolresta Cirebon Kombes Pol Sumarni menjelaskan bahwa AK, Ketua Koperasi Al-Azariyah dan pemilik tambang, serta AR, Kepala Teknik Tambang, terus melanjutkan aktivitas tambang meski telah dua kali menerima surat larangan dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, masing-masing pada 8 Januari dan 19 Maret 2025. Kedua surat tersebut diterbitkan karena Koperasi Al-Azariyah tidak mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), yang merupakan syarat wajib dalam operasional tambang.
“Peringatan dari dinas tidak dihiraukan. AK sebagai pemilik memberi perintah, dan AR menjalankan tanpa mempertimbangkan aspek keselamatan kerja,” ungkap Sumarni.
Longsor terjadi ketika para pekerja sedang menambang batu gamping dan tras. Tebing yang rapuh tiba-tiba runtuh dan menimbun para pekerja, alat berat, serta kendaraan operasional.
Dalam penyelidikan, polisi mengamankan lima unit dump truck, empat ekskavator, serta dokumen perizinan yang dikeluarkan oleh Pemprov Jawa Barat. Namun, izin tersebut tidak disertai RKAB, yang berarti kegiatan tambang berlangsung tanpa dasar hukum yang sah.
“Para tersangka dijerat Pasal 98 dan 99 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp15 miliar,” tegas Sumarni. Mereka juga dikenakan pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan, UU Keselamatan Kerja, serta Pasal 359 KUHP terkait kelalaian yang menyebabkan kematian.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya mematuhi peraturan dan mengutamakan keselamatan kerja dalam setiap aktivitas tambang. Polri berkomitmen untuk terus menyelidiki kasus ini dan membawa para pelaku ke meja pengadilan.